Membongkar Gurita Cikeas


Isi Buku Membongkar Gurita Cikeas - Buku Membongkar Gurita Cikeas yang ditulis oleh George Junus Adijtondro telah menjadi perbincangan super hangat di masyarakat. Menurut beberapa sumber, Buku setebal 183 halaman ini salah satunya berisi pembahasan mengenai oligarki kekuasaan yang terbangun di seputar lingkaran kekuasaan SBY.

Kini buku tersebut menjadi incaran banyak orang yang ingin tahu seperti apa isinya, maklum buku Gurita Cikeas saat ini telah menghilang dari peredaran, hmm.. entah siapa yang menyuruh ditariknya kembali buku itu dari pasaran.

Dalam buku Membongkar Gurita Cikeas George menjelaskan, lingkaran kekuasaan yang dimaksud adalah tiga komponen penyokong kekuasaan SBY. Yakni para menteri atau pejabat, pengusaha, dan keluarga.

Tiga komponen ini, lanjut George, memiliki kontribusi besar dalam kemenangan SBY pada Pemilu 2009. Sedangkan skandal kasus Bank Century yang dipakai sebagai sub judul, hanya sebagai salah satu contoh kasus kecil pengguliran dana kampanye untuk SBY.

Kira-kira seperti itulah isi buku Gurita Cikeas yang menggemparkan tersebut. Admin sendiri sedang mencari link download e-book ini barangkali ada yg sudah simpan di internet :). Bagi yang penasaran seperti apa isi buku membongkar Gurita Cikeas anda bisa melihat resensinya berikut saya petik dari inilah.com

CUPLIKAN HALAMAN 1

“Apakah penyertaan modal sementara yang berjumlah Rp 6,7 triliun itu ada yang bocor atau tidak sesuai dengan peruntukannya? Bahkan berkembang pula desas-desus,rumor, atau tegasnya fitnah, yang mengatakan bahwa sebagian dana itu dirancang untuk dialirkan ke dana kampanye Partai Demokrat dan Capres SBY; fitnah yang sungguh kejam dan sangat menyakitkan….

Sejauh mana para pengelola Bank Century yang melakukan tindakan pidana diproses secara hukum, termasuk bagaimana akhirnya dana penyertaan modal sementara itu dapat kembali ke negara?”

Begitulah sekelumit pertanyaan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam pidatonya hari Senin malam, 23 November 2009, menanggapi rekomendasi Tim 8 yang telah dibentuk oleh Presiden sendiri, untuk mengatasi krisis kepercayaan yang meledak di tanah air, setelah dua orang pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) – Bibit S Ryanto dan Chandra M Hamzah – ditetapkan sebagai tersangka kasus pencekalan dan penyalahgunaan wewenang, hari Selasa, 15 September, dan ditahan oleh Mabes Polri, hari Kamis, 29 Oktober 2009.

Barangkali, tanpa disadari oleh SBY sendiri, pernyataannya yang begitu defensif dalam menangkal adanya kaitan antara konflik KPK versus Polri dengan skandal Bank Century, bagaikan membuka kotak Pandora yang sebelumnya agak tertutup oleh drama yang dalam bahasa awam menjadi populer dengan julukan drama cicak melawan buaya.

Memang, drama itu, yang begitu menyedot perhatian publik kepada tokoh Anggodo Widjojo, yang dijuluki “calon Kapolri” atau “Kapolri baru”, cukup sukses mengalihkan perhatian publik dari skandal Bank Century, bank gagal yang mendapat suntikan dana sebesar Rp 6,7 trilyun dari Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), jauh melebihi Rp 1,3 trilyun yang disetujui DPR‐RI.

Selain merupakan tabir asap alias pengalih isu, penahanan Bibit dan Chandra oleh Mabes Polri dapat ditafsirkan sebagai usaha mencegah KPK membongkar skandal Bank Century itu, bekerjasama dengan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Soalnya, investigasi kasus Bank Century itu sudah didorong KPK (Batam Pos, 31 Agust 2009). Sedangkan BPK juga sedang meneliti pengikutsertaan dana publik di bank itu, atas permintaan DPR‐RI pra‐Pemilu 2009


CUPLIKAN HALAMAN 2

Dari berbagai pemberitaan di media massa dan internet, nama dua orang nasabah terbesar Bank Century telah muncul ke permukaan, yakni Hartati Mudaya, pemimpin kelompok CCM (Central Cipta Mudaya) dan Boedi Sampoerna, salah seorang penerus keluarga Sampoerna, yang menyimpan trilyunan rupiah di bank itu sejak 1998.

Sebelum Bank Century diambilalih oleh LPS, Boedi Sampoerna, seorang cucu pendiri pabrik rokok PT HM Sampoerna, Liem Seng Thee, masih memiliki simpanan sebesar Rp Rp 1.895 milyar di bulan November 2008, sedangkan simpanan Hartati Murdaya sekitar Rp 321 milyar.

Keduanya sama‐sama penyumbang logistik SBY dalam Pemilu lalu. Beberapa depositan kelas kakap lainnya adalah PTPN Jambi, Jamsostek, dan PT Sinar Mas. Boedi Sampoerna sendiri, masih sempat menyelamatkan sebagian depositonya senilai US$ 18 juta, berkat bantuan surat‐surat rekomendasi Kepala Badan Reserse dan Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri waktu itu, Komjen (Pol) Susno Duadji, tanggal 7 dan 17 April 2009 (Rusly 2009: Haque, 2009; Inilah.com, 25 Febr 2009; Antara News, 10 Ag. 2009; Vivanews.com, 14 Sept. 2009; Forum Keadilan, 29 Nov. 2009: 14).

BANTUAN GRUP SAMPOERNA UNTUK HARIAN JURNAS

Apa relevansi informasi ini dengan keluarga Cikeas?

Boedi Sampoerna ditengarai menjadi “salah seorang penyokong SBY, termasuk dengan menerbitkan sebuah koran” (Rusly 2009: 48).

Ada juga yang mengatakan” Sampoerna sejak beberapa tahun lalu mendanai penerbitan salah satu koran nasional (Jurnas/Jurnal Nasional) yang menjadi corong politik Partai SBY” (Haque 2009).

Dugaan itu tidak 100% salah, tapi kurang akurat. Untuk itu, kita harus mengenal figur‐figur keluarga Sampoerna yang memutar roda ekonomi keluarga itu, setelah penjualan 97% saham PT HM Sampoerna kepada maskapai transnasional AS, Altria Group, pemilik pabrik rokok AS, Philip Morris, di tahun 2005, seharga sekitar US$ 2 milyar atau Rp 18,5 trilyun.

Liem Seng Tee, yang mendirikan pabrik rokok itu di tahun 1963 bersama istrinya, Tjiang Nio, mewariskan perusahaan itu kepada anaknya, Aga Sampoerna (Liem Swie Ling), yang lahir di Surabaya tahun 1915. Aga Sampoerna kemudian menyerahkan perusahaan itu kepada dua orang anaknya, Boedi Sampoerna, yang lahir di Surabaya, tahun 1937, serta adiknya, Putera Sampoerna, yang lahir di Amsterdam, 13 Oktober 1947 (PDBI 1997: A‐789 – A‐796; Warta Ekonomi, 18‐31 Mei 2009: 43, 49).

Sesudah menjual pabrik rokoknya kepada Philip Morris, Putera menyerahkan pengelolaan perusahaan pada anak bungsunya, Michael Joseph Sampoerna, yang telah mengembangkan holding company keluarga yang baru, Sampoerna Strategic, ke berbagai bidang dan negara.

Misalnya, membeli 20% saham perusahaan asuransi Israel, Harel Investment Ltd dan saham dalam kasino di London, dan berencana membuka sejuta hektar kelapa sawit di Sulawesi, berkongsi dengan kelompok Bosowa milik Aksa Mahmud, ipar Jusuf Kalla (Investor, 21 Ag.‐3 Sept. 2002: 19; Prospektif, 1 April 2005: 48; Globe Asia, Ag. 2008: 52‐53, Ag. 2009: 100‐101)


CUPLIKAN HALAMAN 4
Namun ada seorang kerabat Boedi dan Putera Sampoerna, yang tidak pernah memakai nama keluarga mereka. Namanya Sunaryo, seorang kolektor lukisan yang kaya raya, yang mengurusi pabrik kertas Esa Kertas milik keluarga Sampoerna di Singapura yang hampir bangkrut, dan sedang bermasalah dengan Bank Danamon.

Menurut sumber‐sumber penulis, sejak pertama terbit tahun 2006, Sunaryo mengalirkan dana Grup Sampoerna ke PT Media Nusa Perdana, penerbit harian Jurnal Nasional di Jakarta.

Perusahaan itu kini telah berkembang menjadi kelompok media cetak yang cukup besar, dengan harian Jurnal Bogor, majalah bulanan Arti, dan majalah dwimingguan Explo. Boleh jadi, dwimingguan ini merupakan sumber penghasilan utama perusahaan penerbitan ini, karena penuh iklan dari maskapai-maskapai migas dan alat‐alat berat penunjang eksplorasi migas dan mineral.

Secara tidak langsung, dwi‐mingguan Explo dapat dijadikan indikator, sikap Partai Demokrat – dan barangkali juga, Ketua Dewan Pembinanya – terhadap kebijakan‐kebijakan negara di bidang ESDM.

Misalnya dalam pendirian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN), yang tampaknya sangat dianjurkan oleh Redaksi Explo (lihat tulisan Noor Cholis,“PLTN Muria dan Hantu Chernobyl”, dalam Explo, 16‐31 Oktober 2008, hal. 106, serta berita tentang PLTN Iran yang siap beroperasi, September lalu dalam Explo, 1‐15 April 2009, hal. 79).

Pemimpin Umum harian Jurnas berturut‐turut dipegang oleh Asto Subroto (2006‐2007), Sonny (hanya beberapa bulan), dan N Syamsuddin Ch. Haesy (2007 sampai sekarang). Kedua pemimpin umum pertama bergelar Doktor dari IPB, dan termasuk pendiri Brighton Institute bersama SBY.

Selama tiga tahun pertama, ada dua orang fungsionaris PT Media Nusa Perdana yang diangkat oleh kelompok Sampoerna, yakni Ting Ananta Setiawan, sebagai Pemimpin Perusahaan, dan Rainerius Taufik sebagai Senior Finance Manager atau Manajer Utama Bisnis.

Dalam Surat Izin Usaha Perdagangan (SIUP) Besar PT Media Nusa Perdana, yang dikeluarkan oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakartam 5 Maret 2007, namanya tercantum sebagai Direktur merangkap pemilik dan penanggungjawab.

Sementara itu, kesan bahwa perusahaan media ini terkait erat dengan Partai Demokrat tidak dapat dihindarkan, dengan duduknya

Ramadhan Pohan, Ketua Bidang Pusat Informasi BAPPILU Partai Demokrat sebagai Pemimpin Redaksi harian Jurnal Nasional dan majalah Arti, serta Wakil Ketua Dewan Redaksi di majalah Explo.

Sebelum menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Jurnas, Ramadhan Pohon merangkap sebagai Direktur Opini Publik & Studi Partai Politik Blora Center, think tank Partai Demokrat yang mengantar SBY ke kursi presidennya yang pertama.

Barangkali ini sebabnya, kalangan pengamat politik di Jakarta mencurigai bahwa dana kelompok Sampoerna juga mengalir ke Blora Center.

Soalnya, sebelum Jurnas terbit, Blora Center menerbitkan tabloid dwi‐mingguan Kabinet, yang menyoroti kinerja anggota‐anggota Kabinet Indonesia Bersatu. Sementara itu, Ramadhan Pohan baru saja terpilih menjadi anggota DPR‐RI dari Fraksi Demokrat,

mewakili Dapil VII Jawa Timur (Jurnalnet.com, 25 Febr. 2005; Fajar, 21 Juni 2005; ramadhanpohan.com, 14 Okt. 2009)


CUPLIKAN HALAMAN 5 DAN 6
Kembali ke kelompok Jurnas dan hubungannya dengan Grup Sampoerna, di tahun 2008, Ting Ananta Setiawan mengundurkan diri darijabatan Pemimpin Perusahaan, yang kini dirangkap oleh Pemimpin Umum, N. Syamsuddin Haesy.

Namun nama Ananta Setiawan tetap tercantum sebagai Pemimpin Perusahaan, sebagai konsekuensi dari SIUP PT Media Nusa Perdana.

Mundurnya Ananta Setiawan secara de facto terjadi seiring dengan mengecilnya saham Sampoerna dalam perusahaan media itu, dan meningkatnya peranan Gatot Murdiantoro Suwondo sebagai pengawas keuangan perusahaan itu. Isteri Dirut BNI ini, dikabarkan masih kerabat Ny. Ani Yudhoyono (McBeth 2007).

Berapa besar dana yang telah disuntikkan Grup Sampoerna ke kelompok Jurnas?

Menurut SIUP PT Media Nusa Perdana yang diterbitkan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi DKI Jakarta, 5 Maret 2007, nilai modal dan kekayaan bersih perusahaan itu sebesar Rp 3 milyar.

Namun jumlah itu, hanya cukup untuk sebulan menerbitkan harian Jurnal Nasional, yang biaya cetak, gaji, dan biaya‐biaya lainnya kurang lebih Rp 2 milyar sebulan. Berarti biaya penerbitan tahun pertama (2006), sekitar Rp 24 milyar. Tahun kedua (2007), turun menjadi sekitar Rp 20 milyar, setelah koran dan majalah‐majalah terbitan PT Media Nusa Perdana mulai menarik langganan dan iklan.

Tahun ketiga (2008), sekitar Rp 18 milyar, dan tahun keempat (2009) sekitar Rp 15 milyar. Berarti kelompok media cetak ini telah menyedot modal sekitar Rp 90 milyar, mengingat Jurnal Bogor menyewa kantor sendiri di Bogor, dan punya rencana untuk berdiri sendiri, dengan perusahaan penerbitan sendiri.

Selain biaya cetak yang tinggi untuk seluruh Grup Jurnas, pos gaji wartawan kelompok media ini tergolong cukup tinggi. Gaji pertama wartawan Jurnas tahun 2006 mencapai Rp 2,5 juta sebulan, tiga kali lipat gaji wartawan baru Jawa Pos Group.

Kecurigaan masyarakat bahwa keluarga Sampoerna tidak hanya menanam modal di kelompok media Jurnal Nasional, tapi juga di simpul-simpul kampanye Partai Demokrat yang lain, yang juga disalurkan lewat Bank Century, bukan tidak berdasar. Soalnya, Laporan Keuangan PT Bank Century Tbk Untuk Tahun Yang Berakhir Pada Tanggal‐Tanggal 30 Juni 2009 dan 2008 menunjukkan bahwa ada penarikan simpanan fihak ketiga sebesar Rp 5,7 trilyun.

Selain itu, Ringkasan Eksekutif Laporan Hasil Investigasi BPK atas Kasus PT Bank Century Tbk tertanggal 20 November 2009 menunjukkan bahwa Bank Century telah mengalami kerugian karena mengganti deposito milik Boedi Sampoerna yang dipinjamkan atau digelapkan oleh Robert Tantular dan Dewi Tantular sebesar US$ 18 juta – atau sekitar Rp 150 milyar ‐‐ dengan dana yang berasal dari Penempatan Modal Sementara LPS

Download ebook Membongkar Gurita Cikeas

Confession of an Economic Hit Man (Eng ver.)


Taubatnya Mantan Bandit Ekonomi Dunia

John Perkins adalah penulis asal Amerika Serikat (AS) yang mengungkapkan korporatokrasi yaitu jaringan yang bertujuan memetik laba melalui cara-cara korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) dari negara-negara Dunia Ketiga, termasuk Indonesia.

Buku ini adalah buku keduanya, setelah Confessions of an Economic Hit Man (2004). Dan boleh dikata buku ini sebagai lanjutan dari buku pertamanya tersebut. Perkins menyebut dirinya sebagai bandit ekonomi (Economic Hit Man; EHM) yang bekerja di perusahaan konsultan MAIN yang bermarkas di Boston, AS.

Sebagaimana halnya buku pertamanya, buku keduanya juga merupakan sebentuk pengakuan dosa dan kesaksian seorang ekonom bayaran Amerika Serikat yang ditugasi untuk menciptakan ketergantungan ekonomi negara Dunia Ketiga dan terbelakang melalui politik utang kepada negara adikuasa.

Perkins menceritakan bagaimana profil seorang agen terselubung hasil rekrutmen National Security Agency (NSA), organisasi spionase Amerika yang paling sedikit diketahui tapi terbesar. Perkins dan teman-temannya berperan sebagai agen spionase terselubung. Mereka membuat economics forecast untuk suatu negara klien korporatokrasi. Dan tugas utama mereka adalah menerapkan kebijakan yang mempromosikan kepentingan korporatokrasi (koalisi bisnis dan politik antara pemerintah, perbankan, dan korporasi) Amerika sambil menyatakan minat mereka untuk mengurangi derajat kemiskinan di negara Dunia Ketiga yang kaya akan sumber daya alamnya, baik yang ada di Asia, Afrika, Timur Tengah, maupun Amerika Latin.

Bantuan utang luar negeri yang selama ini ditawarkan lembaga-lembaga donor seperti IMF dan World Bank telah dikondisikan agar negara penerima donor menjadi sangat bergantung pada negara penyokong donor. Negara pendonor akan berada di atas angin. Ia bebas mendiktekan kebijakan ekonomi dan menuntut ketaatan negara penerima bantuan. Salah satu diktenya adalah negara yang diberi donor tersebut diharuskan mengizinkan perusahaan-perusahaan global untuk membangun proyek-proyek yang menciptakan laba sangat besar untuk para kontraktornya dan memperkaya sekelompok kecil elite dari bangsa penerima utang luar negeri.

Dari situ dapat dipastikan bahwa yang menjadi tujuan pendonor dana adalah agar negara penerima utang memiliki kesetiaan politik untuk jangka panjang sampai kekayaan alamnya habis. Indonesia adalah korban pertama Perkins. Ia menyebutkan, Indonesia merupakan negeri kepulauan terbesar yang kaya sumber daya alam, khususnya minyak. Hal ini membuat pendulum—Amerika Serikat (AS)—berdenyut. Perkins kali pertama menginjakkan kakinya di Indonesia pada 1971 mengaku korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi seperangkat alat ampuh untuk membangkrutkan Indonesia.

Perkins membuat laporan fiktif untuk IMF atau Bank Dunia agar mengucurkan utang yang tak mampu dibayar oleh negara Indonesia. Setelah tersandera, Indonesia ditekan mendukung AS di DK PBB atau menjual ladang minyak ke MNC Barat. Aksi ini dilakukan Perkins dalam tiga bulan pertama sejak 1971 berada di Indonesia.

Ketergantungan pada pendonor dana semenjak masa Soeharto ternyata masih berlanjut hingga pemerintahan SBY. Di antaranya adalah kasus Paiton, blog Cepu, dan lain-lain. Pemerintah dibuat tidak berkutik menghadapi gempuran para korporator, lantaran sudah dijebak dengan utang. Dalam kasus lain bisa kita lihat pada saat terjadi tsunami di Aceh. Menurut Perkins, pemerintah Indonesia cepat-cepat mengambil keuntungan dari peristiwa ini. Pasukan baru diterbangkan dari kawasan Indonesia lainnya. Dalam hitungan bulan, mereka akan mendapat bantuan personel militer dan prajurit upahan dari AS, seperti Neil. Meskipun angkatan bersenjata memegang komando dengan dalih meringankan korban bencana, agenda terselubung mereka tak lain menumpas GAM.
November 2005, Washington mencabut embargo senjata dan melanjutkan hubungan penuh dengan militer Indonesia. Perkins melihat GAM lahir dari hasrat untuk merdeka dari pemerintah yang dianggap berlaku eksploitatif dalam urusan ekonomi dan menindas dengan brutal. Meski lingkungan dan budaya mereka rusak akibat tangan-tangan korporasi asing, keuntungan yang diterima rakyat Aceh hanya sedikit. Salah satu proyek sumber daya terbesar di Indonesia, fasilitas gas alam cair (LNG), berlokasi di Aceh. Namun hanya sedikit keuntungan LNG itu yang disalurkan ke sekolah, rumah sakit, dan investasi lokal lainnya untuk membantu rakyat Aceh sebagai pihak yang terkena dampak paling besar dari perusahaan itu.

Mirip dengan Indonesia, Perkins dan kawan-kawannya juga mengendalikan sejumlah peristiwa dramatis dalam sejarah, seperti kejatuhan Shah Iran, kematian Presiden Panama, Omar Torrijos, dan invasi militer Amerika ke Panama dan Irak. Namun, aksi kejahatannya seperti itu yang telah berlangsung bertahun-tahun membuat nuraninya terusik. Ia merasa dirinya kontradiktif. Pemanasan global benar-benar menyadarkan dirinya lebih dalam lagi untuk menyerang balik para pelaku korporasi, lantaran bumi secara perlahan telah habis dieksploitasi oleh mereka. Dalam bukunya ini, sekaligus yang membedakan dengan buku pertamanya, Perkins mengajak warga dunia memerangi korporatokrasi yang terbukti menjadi senjata penjajahan paling mutakhir untuk membangkrutkan sebuah negeri.

Pada bab terakhir, Perkins menawarkan berbagai solusi menghadapi kejahatan korporatokrasi, mulai dari hal terkecil hingga yang paling besar (lihat hlm. 443-445). Sungguh, membaca buku ini membuka kesadaran kita akan mafia bisnis perusahaan multinasional dalam merusak ekonomi suatu negara. Untuk itu, buku ini sangat layak dibaca bagi siapa pun yang menginginkan kesadaran akan keselamatan dunia. Di samping itu, pengemasan buku dan penyajian bahasanya yang naratif membuat pembaca terbantu untuk menuntaskan rasa ingin tahunya dan enggan berhenti di tengah jalan.***

M IQBAL DAWAMI
Staf pengajar STIS Magelang, tinggal di Yogyakarta

Download ebook Confession of an Economic Hit Man (Eng ver.)

BLUE OCEAN STRATEGY


Peresensi: GATOT WIDAYANTO

Telah dimuat di KORAN TEMPO 10 Desember 2005


Seorang bocah berkepala botak membawa ikon pertanda waktu yang lazim digunakan pada jaman dulu kemudian disertai oleh hadirnya penari-penari wanita berpakaian warna-warni. Termasuk dua orang penari wanita berkulit gelap berkostum gemerlap warna-warni dengan model pakaian Hawaii atau pakaian orang pedalaman. Mereka menebar senyum sambil menari-nari riang. Sementara itu musik bernada upbeat dengan aliran rock progresif mengiringi beberapa orang yang berada di panggug, termasuk si bocah dan dua penari wanita berkulit gelap tadi. Suasana panggung menjadi meriah dan gegap gempita seolah mereka yang berada di atas panggung menebarkan rasa ceria dan sambutan kepada penonton yang menyaksikan pertunjukan di atas panggung tersebut. Cukup lama atraksi ini, sekitar empat menit dan kemudian disambung dengan atraksi akrobatik yang sangat jarang dijumpai sebelumnya dan membuat decak kagum bagi pemirsa.

Itulah secuplik ulasan situasi pertunjukan “Dralion” yang disuguhkan oleh Cirque du Soleil. Mengapa Cirque du Soleil? Karena Cirque du Soleil merupakan profil sebuah bisnis yang dikembangkan dgn konsep blue ocean(samudra biru). Apakah gerangan blue ocean? Sebuah konsep yg sudah ada sejak dahulu kala namun kita tidak menyadarinya. Konsep ini berorientasi pada terobosan baru melalui inovasi nilai. Dengan terobosan ini maka perusahaan yang melakukan telah menciptakan ruang pasar (market space) baru sehingga kompetisi tidak relevan lagi karena pada dasarnya hanya satu perusahaan saja yang bersaing. Itulah sebabnya maka pengarang buku ini mengatakan jika kita hanya fokus pada memenangkan kompetisi dan berkutat pada industri yang sama maka medan pertempuran menjadi keruh berdarah atau disebut red ocean (samudera merah). Dalam samudra merah, peningkatan profit tak akan signifikan karena para pesaing memperebutkan kue yang sama. Namun dalam samudra biru hanya ada satu pemain saja dalam ruang pasar baru tersebut sehingga perusahaan tersebut bisa mengendalikan sendiri pasarnya dengan pendapatan dan profit tinggi.

Guy Laliberte, seorang yang dulunya pengamen jalanan dan bermain akordion, pemakan api dalam atraksi sirkus yang tenar saat itu, sekarang menjadi CEO dari Cirque du Soleil, yang merupakan salah satu penyumbang ekspor kesenian terbesar dari Kanada. Didirikan pada tahun 1984 oleh sekelompok pengamen jalanan, produksi Cirque telah disaksikan oleh 40 juta pemirsa dari 90 kota di seluruh dunia. Dalam kurun waktu kurang dari 12 tahun Cirque telah meraih pendapatan setara dengan kerja ratusan tahun dari pemimpin industri sirkus yang ternama yaitu Ringling Bros dan Barnum & Bailey.

Apa yang menyebabkan pertumbuhan fenomenal ini? Cirque melakukan redefinisi total mengenai pengertian sirkus. Sirkus tradisionil biasanya berfokus pada penggunaan hewan-hewan (singa, gajah, harimau, dlsb) dan juga atraksi akrobatik. Dengan cara seperti ini, biaya pemeliharaan menjadi tinggi sekali karena makanan binatang tersebut mahal dan juga dewasa ini banyak seruan dari pencinta satwa untuk tidak menggunakan binatang dalam pertunjukan sirkus. Cirque menyadari bahwa untuk memenangkan persaingan di industri sirkus yang mengalami penurunan minat dari pemirsa dengan cara berhenti bersaing dan menciptakan ruang pasar baru. Hasilnya, Cirque du Soleil tidak hanya menyedot penggemar sirkus namun juga memikat mereka yang tadinya bukan penikmat sirkus. Hal ini karena Cirque membuat pertunjukan yang menggabungkan antara akrobat, seni humor dan teater ala Broadway.

Berdasarkan studi terhadap 150 kasus perubahan strategis yang terjadi selama seratus tahun dari 30 industri yang berbeda, Kim and Mauborgne menekankan bahwa perusahaan yang akan memimpin di masa datang tidak berorientasi pada pertempuran dengan pesaing, tapi menciptakan samudra biru yang merupakan ruang pasar tanpa pesaing. Menurut Kim dan Mauborgne, strategi samudra biru mendorong perusahaan untuk melakukan terobosan baru dan membuat persaingan menjadi tak relevan.

Buku ini juga menunjukkan bagaimana menjalankan strategi samudra biru ini. Di bagian awalnya, buku ini menguraikan perangkat analisis dan kerangka kerja yang membimbing pembaca mengambil tindakan sistematis. Penulis buku ini menggunakan istilah strategy canvas yang merupakan kerangka analisis yang ditawarkan. Ini sebenarnya bukan hal baru karena dalam terminologi yang berlaku sekarang, istilah ini sudah biasa kita kenal dengan industry analysis menggunakan kerangka ”lima faktor penentu” dari Porter (Porter’s Five Forces) yang terkenal dan lazim digunakan itu.

Karena strategi samudra biru ini berfokus pada inovasi nilai, maka penulis secara spesisik menguraikan enam prinsip utama yaitu: rekonstruksi batasan pasar, fokus pada hal besar, menggapai lebih dari permintaan yang ada, menetapkan prioritas strategis, mengatasi kendala internal dan menetapkan langkah eksekusi sesuai strategi. Dalam hal kerangka kerja tindakan, penulis juga menekankan empat hal: menghapus (eliminate) hal-hal yang tidak penting; mengurangi (reduce) hal-hal yang dirasa selama ini berlebihan; menonjolkan (raise) hal-hal penting dan menciptakan (create) hal baru yang selama ini belum terpikirkan.

Yang menarik dari pemikiran Kim dan Mauborgne’s adalah bahwa inovasi yang menyebabkan perusahaan-perusahaan sukses menjalankan strategi samudra biru tidak tergantung dari teknologi baru. Mereka menjalankan strategi yang membuat mereka terbebas dari batasan-batasan yang ada di industrinya. Samudra biru diciptakan dalam daerah dimana tindakan-tindakan yang dijalankan berdampak langsung pada struktur biaya dan peningkatan proposisi nilai di mata pelanggannya. Penghematan terjadi dari faktor-faktor yang dihilangkan maupun dikurangi. Nilai ditingkatkan dengan menonjolkan dan menciptakan hal-hal yang dianggap berdampak signifikan. Dengan berjalannya waktu, struktur biaya semakin turun karena perusahaan sudah mencapai skala ekonomis tertentu karena tingginya pendapatan dan nilai tinggi di mata pelanggan. Buku ini cocok untuk pebisnis maupun perencana strategis perusahaan untuk menciptakan terobosan baru dalam upaya meningkatkan kinerja perusahaan. Sudah siapkah Anda menjalankan strategi samudra biru? GW – Desember 2005.

Penulis: W. Chan Kim dan Renee Mauborgne (Cambridge,Mass. : Harvard Business School Press, 2004)

Download free ebook Blue Ocean Strategy

Kimya Sang Putri Rumi


Penulis: Muriel Maufroy
Dialah Kimya, putri angkat Rumi. Terlahir sebagai anak petani di pedalaman Anatolia, sejak kecil dia merasakan sebuah kerinduan misterius kepada Yang Gaib. Kimya menyaksikan dari dekat proses perubahan ayah angkatnya. Dari seorang ulama terhormat di Konya, dia menjadi perindu Tuhan, bersyair dan menari merayakan cinta Ilahi. Semua itu karena perjumpaannya dengan seorang sufi pengembara, Syams dari Tabriz. Kunjungi juga website penerbit ebooknya di www.kutukutubuku.com. Download ebook Kimya Sang Putri Rumi

Hafalan Shalat Delisa


Penulis: Tere Liye
Buku yang indah ditulis dalam kesadaran ibadah. Buku ini mengajak kita mencintai kehidupan, juga kematian, mencintai anugerah juga musibah, dan mencintai indahnya hidayah. Novel ini disajikan dengan gaya sederhana namun sangat menyentuh. Penulis berhasil menghadirkan tokoh-tokoh dan suasana dengan begitu hidup. Islami dan luar biasa. Pantas dibaca oleh siapa saja yang ingin mendapatkan pencerahan rohani. Dramatis, tanpa perlu hiperbolik. Menyentuh, tanpa perlu mengharu biru. Kecerdasan dalam kepolosan. Terkadang malu sendiri ketika menyimak si mungil Delisa. Seolah menonton film dokumenter ketika membacanya lembar demi lembar. Kunjungi juga website penerbit ebooknya di download.duniakata.net. Download ebook Hafalan Shalat Delisa